Templar sendiri sesungguhnya pengikut Kabbalah, walau mereka mengaku sebagai pemeluk Kristen pada awalnya.
Sebab
itu, banyak sejarawan Barat yang menuding di antara kedua sekte
khusus pencabut nyawa ini sesungguhnya terjalin satu kerjasama dalam
bentuk yang tersembunyi. Salah satu yang memunculkan dugaan ini adalah
Prof. Carole Hillenbrand, Guu Besar Studi Islam dan Bahasa Arab
University Edinburgh, Skotlandia. Skotlandia sendiri dikenal sebagai
wilayah basis dari Freemasonry yang lahir di darah ini selepas
penumpasan Templar oleh Raja Perancis, King Philipe le Bel, yang
dibantu Paus Clement V di tahun 1307 M.
Profesor
Hillenbrand dalam bukunya “The Crusade, Islamic Perspective” (1999)
menulis bahwa setahun sebelum pasukan salib gelombang pertama yang
dikomandani Godfroi de Bouillon tiba di pintu Yerusalem di tahun 1099
dan merebutnya, Yerusalem diserang oleh pasukan dari Dinasti
Fathimiyah-Syiah yang berpusat di Mesir dan merebutnya dari tangan
kekuasaan Dinasti Abbasiyyah yang beraliran Sunni.
Jadi,
ketika pasukannya Godfroi tiba di pintu kota Yerusalem, kota suci itu
sebenarnya telah berada di bawah kekuasaan Bani Fathimiyah. Atas
kejadian ini, Hillebrand mempertanyakan tidak adanya catatan khusus dari
para sejarawan Muslim. “Serangan tiba-tiba yang dilakukan al-Afdhal
(Wazir dari Dinasti Fathimiyah Mesir) ke Yerusalem, dengan waktu yang
amat tepat, memerlukan penjelasan yang belum diberikan para sarjana
Islam. Mengapa al-Afdhal melakukan serangan ini? Apakah karena ia telah
tahu lebih dulu soal rencana para Tentara Salib? Bila demikian, apakah
ia merebut Yerusalem untuk kepentingan Tentara Salib, yang sebelumnya
telah menjalin aliansi dengannya?” tulis Hillebrand.
Salah
satu hipotesis yang dikemukakan peraih The King Faisal International
Prize for Islamic Studies ini adalah, bahwa pasukannya al-Afdhal telah
dikhianati oleh Godfroi de Bouillon, karena sesungguhnya Kaisar
Byzantium—Kristen Timur yang bertentangan secara ideologi dengan Kristen
Barat yang mengirimkan Tentara Salib—telah memberitahu al-Afdhal
bahwa pasukan Salib Kristen Barat akan segera tiba di Yerusalem.
Pemberitahuan ini diberikan Kaisar Byzantium tidak lama berselang
setelah Konsili Clermont usai.
Bisa
jadi, demikian Hillebrand, al-Afdhal menginvasi Yerusalem agar
Godfroi menahan pasukannya dan bisa berbagi kekuasaan, karena
al-Afdhal mengira Tentara Salib atau ‘Bangsa Frank’ menurut
Hillenbrand bisa dijadikan sekutu yang baik menghadapi Muslim Sunni.
Namun yang terjadi tidak demikian. “Tentara Salib hendak menguasai
Yerusalem untuk dirinya sendiri, ” tulisnya. Lantas di mana peranan
Assassins dalam hal ini?
Peran Tersembunyi Assassins
Menjelang
Perang Salib pertama, dunia Barat dan Timur masing-masing mengalami
perpecahan (schisma) yang hebat. Dunia Barat setidaknya menjadi dua
kekuatan besar: Kristen Timur yang berpusat di Byzantium dan Kristen
Barat yang berpusat di Roma. Secara diam-diam, Sekte Gereja Yohanit yang
sesungguhnya agnostik-paganistik menyusup ke Vatikan dan menyusun
kekuatannya. Di sisi lain Dunia Islam juga terbagi menjadi dua kekuatan
besar yang juga saling memusuhi yakni Kekhalifahan Abbasiyah yang
sunni dan Kekhalifahan Fathimiyah yang syiah yang berpusat di Mesir.
Carole
Hillenbrand menulis, “Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, sejak
1092 M, terjadi rentetan pembersihan semua pemimpin politik terkemuka
Dunia Islam dari Mesir hingga ke timur. Tahun 1092, seorang menteri
terkemuka Dinasti Seljuk sunni bernama Nizam al-Mulk terbunuh
(belakangan diketahui Assassins-lah yang melakukan itu). ”
Tiga
bulan kemudian, Sultan Maliksyah, sultan ketiga Seljuk yang telah
berkuasa dengan gemilang selama duapuluh tahun juga meninggal dengan
sebab-sebab yang mencurigakan. Kuat dugaan ia juga telah diracun
Assassins. Tak lama kemudian, permaisuri dan cucu-cucunya pun meninggal
dengan cara yang tak lazim. Para sejarawan Islam memandang tahun 1092 M
sebagai “Tahun Kematian”.
Apalagi
dengan peristiwa meninggalnya Khalifah Fathimiyah Syiah di Mesir,
al-Muntanshir, musuh besar Seljuk, yang juga terjadi pada tahun itu. Dua
tahun kemudian, 1094, Khalifah Abbasiyah alMuqtadhi juga meninggal.
Rentetan
perubahan yang berjalan amat cepat ini oleh Hillenbrand disamakan
dengan terjadinya Perestroika di Uni Soviet yang mengakibatkan
kehancuran dan perpecahan. Berbagai sekte dan negara kecil-kecil
memisahkan diri dan menjadi kekuatannya masing-masing. Dunia Islam
menjelang Konsili Clermont di tahun 1096 sudah berubah menjadi dunia
yang penuh kekacauan dan anarki.
Hillenbrand
mengajukan pertanyaan: “Momentum ini bagi pasukan Salib sungguh
menguntungkan. Apakah saat itu pasukan Salib telah diberitahu bahwa saat
itu merupakan momentum yang sangat bagus untuk menyerang Yerusalem?”
Jika
di balik, pertanyaan Hillenbrand sebenarnya bisa lebih menukik,
seperti: “Adakah kekacauan di Dunia Islam ini telah diatur? Assassins
bertugas menimbulkan perpecahan di kalangan Islam dengan melakukan
serangkaian pembunuhan di berbagai dinasti Islam yang kuat, dan di lain
sisi Ordo Yohanit (Peter The Hermit dan Godfroi de Bouillon sebagai
dua tokohnya) di saat yang sama menyusup ke Vatikan dan memprovokasi
Paus agar mengobarkan Perang Salib untuk merebut Yerusalem.
Apalagi
sejarah mencatat bahwa hanya setahun sebelum pasukan Salib tiba di
depan gerbang Yerusalem, kota suci itu telah jatuh ke tangan Dinasti
Fathimiyah. Adakah ini merupakan persekongkolan antara Assassins dengan
Ordo Yohanit di mana keduanya memang diketahui cenderung kepada
ilmu-ilmu ramalan, perbintangan, sihir, dan sebagainya yang menjurus
pada ajaran Kabbalah.
Dengan
kata lain, adalah semua kejadian besar itu merupakan hasil konspirasi
yang dilakukan Ordo Kabbalah dengan pembagian kerja: Assassins
bekerja di Dunia Islam, sedangkan Yohanit (Ordo Sion dan kemudian
Templar) bekerja di Dunia Kristen?
Bukan
rahasia umum lagi bila Assassins dan Templar di kemudian hari
benar-benar melakukan kerjasama. Templar sering mengorder Assassins
untuk membunuh musuh-musuh politiknya. Salah satu korban dari Assassins
adalah Richard The Lion Heart. Salahuddin al-Ayyubi sendiri pernah
menerima terror dari Assassins.
Sebutan
Hashyashyin atau dalam lidah orang Barat “Assassins” berasal dari
catatan Marcopolo. Pelaut ternama dari Venesia ini pada tahun 1271-1272
melintasi daerah Alamut, sebuah benteng besar di atas karang yang
sangat kuat dan memiliki taman yang sangat indah di dalamnya, di
wilayah Persia. Dalam catatannya tentang Benteng Alamut dan aktivitas
sekte Syiah pimpinan Hasan al-Sabbah, yang diistilahkan oleh Marcopolo
sebagai kaum Assassins, pelaut Italia ini menulis:
“…Beberapa
pemuda yang berumur duabelas hingga duapuluh tahun yang memiliki
semangat tarung yang tinggi, dibawa masuk ke dalam taman yang berada di
tengah-tengah benteng. Mereka dibawa masuk bergiliran, sekitar empat,
enam, atau sepuluh pemuda. Sebelumnya, mereka disuguhi minuman keras
dan candu yang membuat mereka mabuk berat atu tertidur pulas. Baru
setelah itu mereka diangkat dan dipindahkan ke dalam taman.
Ketika
bangun, para pemuda itu mendaati dirinya berada di tengah taman yang
sangat indah. Mereka dikelilingi para gadis-gadis perawan yang
mengenakan pakaian sungguh menggoda. Para gadis itu menghibur, merayu,
dan melayani keinginan para pemuda tersebut. Mereka sungguh-sungguh
dimanjakan. Para pemuda itu menyangka mereka sedang berada di surga.
Sehingga ketika Hasan al-Sabbah sebagai pimpinan tertinggi Hashyashyin
memberi tugas atau perintah kepada mereka maka mereka akan dengan
senang hati akan melaksanakannya.
“Surga”
yang sangat indah telah menantikan para pemuda tersebut jika tugasnya
selesai. “Saat kau kembali, bidadari-bidadariku akan membawamu ke
surga. Dan jika pun kau mati, kau pun akan pergi juga ke surga, ”
ujarnya. Penggunaan candu atau Hashyishy inilah yang oleh Marcopolo,
kelompok ini disebut kaum Hashyashyin.
Old Man of the Mountain
Freya
Stark, seorang wartawati Inggris berdarah campuran Perancis-Italia,
ketika menjabat sebagai Staf Redaksi Bagdad Times di Bagdad, Irak,
banyak melakukan perjalanan jurnalistiknya. Perempuan yang menguasai
bahasa Arab dan Parsi ini atas izin Shah Iran di tahun 1930-1931
mengunjungi sisa-sisa Benteng Alamut di Persia. Stark merupakan
perempuan asing pertama yang menjejakkan kakinya di wilayah bekas pusat
kekuasaan kaum Assassins ini.
Stark
membuat peta baru yang terperinci atas wilayah tersebut dan catatan
perjalanannya menjadi sebuah buku yang sangat menarik berjudul “The
Valley of the Assassins”. Dalam bukunya, Stark menulis tentang latar
belakang dan perkembangan kelompok Assassins. Stark berpedoman kepada
literatur-literatur tertua dalam Dunia Islam.
“Assassins
itu sebuah sekte Parsi. Cabang dari aliran Syiah Ismailiyah, yang
memuliakan Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad, beserta Imam-Imam
turunan dari garis Ali, ” demikian Stark (hal. 159).
Aliran
Ismailiyah memisahkan diri dari aliran-aliran lainnya sepeninggal
Imam ke-7, Imam Jafar al-Shadiq. Walau mengaku sebagai Syiah dan
pengikut Ali, namun berlainan dengan aliran lainnya, maka Assassins
tidak mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Pandangan
‘keagamaan’ Assassins juga unik karena lebih condong kepada Komune
(pada abad ke-20 dikenal sebagai paham Komunisme)—penyamarataan
sosial. Bahkan di dalam beberapa ritual religinya, Assassins juga
melakukan ritus-ritus yang kerap ditemukan pada pengikut
paganisme-Kabalis. Seperti halnya ritus di dalam Taman Alamut yang
nyaris serupa dengan ritus pesta seks Caligula atau Nero di zaman
Romawi.
Tulisan
Stark yang dikutip oleh Joesoef Sou’yb dalam ‘Sejarah Daulat Abasiah’
Jilid III (Bulan Bintang, 1978) menyatakan, “Kelompok Assassins
dipimpin oleh sebuah keluarga Persia yang kaya raya namun gila perang.
Mereka itu menyerahkan hidupnya untuk merongrong dan menghancurkan
secara berangsur-angsur terhadap segala jenis keimanan Islam dengan
suatu sistem pentahbisan (inisiasi) secara halus dan pelan-pelan,
melalui beberapa tahap (marhalah), menusukkan kesangsian-kesangsian
terhadap agama Islam, hingga kemudian si anggota menjadi seseorang yang
mendewa-dewakan pemikiran bebas dan bersikap bebas pula (liberal). ”
(hal. 61)
Paparan
Stark di atas merupakan alat utama pengrusakkan agama-agama samawi
yang dilakukan oleh kaum Kabbalis. Seperti yang telah diulas dalam
banyak sekali literatur, ketiga agama samawi yang dirusak oleh kaum
Kabbalah ini adalah Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Ke
dalam agama Yahudi yang sesungguhnya memiliki Kitab Taurat yang
diturunkan kepada Nabi Musa a. S., kaum Kabbalah ini menyisipkan
ayat-ayat palsu sehingga Taurat menjadi rancu dan berantakan. Lantas
kaum Kabbalah ini membuat satu kitab yang dikatakan sebagai ‘titah Tuhan
kepada Nabi Musa yang tidak tercatat’ (seperti halnya Hadits Qudsi di
dalam agama Islam, hanya saja Hadist Qudsi merupakan sesuatu yang
benar berasal dari Allah SWT), yang disebutnya sebagai Kitab Talmud.
Kitab Talmud ini pun akhirnya menjadi ‘lebih suci dan tinggi’
ketimbang Taurat, sehingga kaum Yahudi ini menjadi kaum yang dimurkai
Allah SWT.
Ke
dalam agama Nasrani, kaum Kabbalah memasukkan seorang
Yahudi-Talmudian bernama Paulus dari Tarsus. Paulus ini yang tidak
pernah bertemu dengan Yesus karena zaman kehidupannya jauh berbeda,
membuat Kitab Perjanjian Baru, yang disebutkan sebagai penggenapan
Bibel Perjanjian Lama (Taurat). Ke dalam Perjanjian Lama pun-seperti
halnya Taurat Musa—disisipkan ayat-ayat palsu sehingga mustahil untuk
kita menemukan mana yang asli dan mana yang tidak.
Lalu
ke dalam agama Islam, kaum Kabbalah ini memasukkan seorang Yahudi
juga yang berpura-pura sebagai orang Islam bernama Abdullah bin Saba.
Abdullah bin Saba inilah yang memecah umat Islam ke dalam dua kutub
besar yakni Sunni dan Syiah, sesuatu yang tidak ada saat Rasulullah SAW
masih hidup.
Sesuatu
yang bukan kebetulan, ujar Stark, bahwa keluarga Persia tersebut
memusatkan aktivitasnya di Mesir atas nama Dinasti Fathimiyah. Mesir
sejak zaman purba merupakan salah satu pusat berkembangnya ajaran
Kabbalah.
Salah
satu tonggak Kabbalah di Mesir Kuno adalah di masa kekuasaan para
Firaun, yang berkuasa ditopang oleh “Dua Kaki” yakni Militer dan
Penyihir. Di masa Nabi Musa as., para penyihir ini sebagian ada yang
meninggalkan ajaran Kabbalah dan kembali ke Islam. Namun Dewan Penyihir
Tertinggi (Majelis Ordo Kabbalah) tetap memusuhi Nabi Musa a. S dan
menyusupkan seorang anggotanya ke dalam umatnya Nabi Musa untuk
memalingkan kaumnya dari ketauhidan. Al-Qur’an mencatat orang yang
disusupkan itu bernama Samiri.
Di
Mesir, cikal bakal Assassins ini menyusup ke semua lini dan menguasai
posisi-posisi penting. Salah seorang dai Ismailiyah yang berasal dari
kota Rayy di Persia bernama Hassan al-Sabbah muncul sebagai tokoh di
Mesir. Hassan al-Sabbah inilah yang kemudian mendirikan sekte
Assassins dan memegang jabatan sebagai Pemimpin Agung yang pertama
dari kelompok tersebut (The First Grandmaster of the Assassins).
Kharisma
dan kebrutalan Hassan al-Sabbah menjadikannya dai yang amat disegani.
Ia kemudian menciptakan ideologi bagi kelompoknya sendiri,
melaksanakan pelatihan-pelatihan militerisme dan intelijen secara
sembunyi-sembunyi, dan sebagainya.
“Ia
menciptakan suatu penemuannya sendiri, membawa ide baru ke dalam
dunia politik pada masanya itu. Prinsip pembunuhan yang cuma karena
haus darah telah dikembangkannya menjadi satu alat politik berasaskan
sumpah, ” tulis Sou’yb. Dan tentu saja, proyek-proyek pembunuhan
diam-diam terhadap lawan-lawan politik pihak yang memesannya telah
menjadi ladang usaha yang sangat menguntungkan. Assassins pun menangguk
keuntungan material yang sangat besar dari usahanya.
Hassan
al-Sabbah merupakan pendiri sekaligus Grandmaster Assassins. Hasan
berasal dari daratan Persia. Ferdinand Tottle dalam bukunya berjudul
Munjid fil Adabi (1956) menulis bahwa Hassan dikirim oleh Ibnu Attash di
tahun 1072 M ke Mesir untuk menemui Khalif al-Muntashir dari Daulah
Fathimiyah yang beraliran Syiah. Mesir kala itu dikuasai kelompok
syiah, di mana Perguruan Tinggi Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan
ternama kaum Syiah. Hasan menuntut pendidikan di lembaga tersebut.
Sepuluh
tahun kemudian, dalam usia ke-31, Hasan kembali ke Persia. Ketika
Ibnu Attash wafat, Hassan menggantikan kedudukannya. Sebelum Hassan
kembali ke Persia, Assassins masih menjadi gerakan bawah tanah yang
belum berani menampakkan diri di atas permukaan. Dan ketika Hassan
telah kembali, maka Assassins baru menampakkan diri sebagai satu
gerakan dalam Sekte Syiah Ismailiyah yang beda dengan sekte-sekte
lainnya. Assassins sebenarnya bukan hanya beda di permukaan, tapi
memiliki perbedaan secara substansial dan doktrinal. Secara akidah
sebenarnya Assassins tidak lagi bisa dipandang sebagai bagian dari
kaum Muslimin karena mereka tidak mewajibkan sholat, zakat, dan puasa,
sesuatu yang sangat esensial di dalam Islam.
Sekembalinya
Hassan ke Persia, gerakan Assassins mulai memperluas pengaruhnya ke
seluruh penjuru Persia dengan merebut wilayah-wilayah strategis.
Wilayah Iran Utara sampai pesisir Laut Kaspia, yang sejak zaman Romawi
banyak berdiri kota-kota benteng menjadi sasaran utama. Beberapa kota
benteng yang kokoh berdiri di antaranya Alamut, Girdkuh, dan Lamiasar
berhasil dikuasai. Benteng Alamut merupakan benteng terkuat karena
berdiri di atas puncak pegunungan di mana hanya ada satu jalan untuk
keluar dan masuk, itu pun sangat sulit dan terjal. Di dalam benteng
yang merupakan peninggalan dari Kaisar Romawi Trajanus (98-117M)
terdapat ruangan-ruangan yang membingungkan dan sebuah taman rahasia
di tengahnya, di mana tidak setiap orang bisa mengaksesnya. Oleh
Hassan al-Sabbah, Benteng Alamut digunakan sebagai markas besar
kelompok tersebut.
Dari
Alamut inilah kelompok Assassins menyebarkan terror ke seluruh
lapisan kerajaan, baik dari pihak Syiah maupun lawannya Sunni-Abasiyah
dan Seljuk. Masa-masa itu dikenal sebagai masa The Great Terror.
Kekuatan Assassins ini demikian melegenda hingga menjadi pembicaraan
kaum Salib Eropa.
Ditumpas Shalahuddin al-Ayyubi
Selain
Tentara Salib dengan Ksatria Templar dan Hospitaller-nya, pasukan
Shalahuddin Al-Ayyubi juga harus menghadapi kelompok Assassins.
Shalahuddin tidak bisa melupakan bagaimana Assassins pernah mengancam
dirinya dengan menaruh kue beracun di atas dadanya saat dia tengah
tertidur. Sebab itu, setelah membebaskan Yerusalem dengan mengalahkan
Tentara Salib di tahun 1187, Shalahuddin tidak berhenti. Panglima
pasukan Islam itu terus menyusuri ke utara, membebaskan daerah-daerah
lainnya hingga mengejar kaum Assassins ke Benteng Alamut.
Pasca
serangan yang dilakukan pasukannya Shalahuddin, kemudian pasukannya
Mongol, kelompok Assassins menyebar ke berbagai wilayah, utamanya
Lebanon, Persia, dan Suriah. Bertahun-tahun kemudian, kelompok ini tidak
lagi terdengar dan istilah “Asassins” telah mengalami perubahan makna
menjadi “Pembunuh Bayaran”. Dalam budaya pop, istilah ini diangkat ke
dalam novel-novel dan layar perak.
Dalam
kancah konflik di dunia Arab, anak-keturunan kelompok ini dikenal
sebagai kaum Druze, suatu kelompok pro-komunis di Lebanon dan Suriah.
Namun beberapa kelompok kecil masih bertahan hingga kini di sekitar
wilayah tersebut.
Catatan Yang Hilang
Sampai
hari ini, sejarawan masih bersilang pendapat soal hubungan antara
Sekte Assassins dengan Ksatria Templar (dan Ordo Sion tentunya).
Carolle Hillebrand dalam karyanya yang mendapat penghargaan dari King
Faisal termasuk yang percaya bahwa di bawah permukaan, di masa sebelum
dan sesudah Perang Salib, antara kedua kelompok ini sebenarnya
terdapat kerjasama yang unik. Keduanya memiliki kemiripan di dalam
memahami kitab suci agamanya masing-masing. Baik Templar maupun
Assassins dituduh telah melakukan heresy atau bid’ah, karena keduanya
memahami kitab sucinya lebih dari sekadar apa yang tertulis dan
meyakini ada pesan-pesan tidak tertulis di dalam teks-teksnya.
Kalangan sejarawan menyebut mereka berdua sebagai kelompok esoteris.
Sebab itu, ritual-ritual keagamaan keduanya pun mirip. Wallahu’alam
bishawab.(Rizki Ridyasmara)